Rabu, 03 Februari 2010

Pelacur Markonah Kibuli Soekarno

Raja Idrus dan Ratu Markonah. Kedua nama ini membuat geger Indonesia pada zaman presiden Soekarno. Waktu itu sekitar tahun 1950-an, Indonesia sedang berjuang membebaskan Irian Barat. Markonah berumur 50-an. Wajahnya lumayan menarik. Tapi ia memiliki cacat di matanya sehingga selalu memakai kaca mata hitam.

Pasangan suami-istri itu mengaku sebagai raja dan ratu Suku Anak Dalam, Sumatera. Mereka lantas menemui sejumlah pejabat dengan mengaku sedang melakukan muhibah ke sejumlah daerah di tanah air. Dengan dandanan yang meyakinkan, para pejabat pun menyambut dengan tangan terbuka atas kunjungan Raja Idrus dan sang permaisuri.

Hebatnya para pejabat memberikan sambutan yang luar biasa kepada mereka. Mereka dijamu, dielu-elukan, diajak foto bersama dan mendapat liputan media massa. Entah bagaimana ceritanya, kemudian ada seorang pejabat yang memperkenalkan sang raja dan ratu itu kepada Presiden Soekarno.

“Pejabat ini, saya nggak tahu namanya, menyampaikan ke Bung Karno, kalau Raja Idrus dan Ratu Markonah sudah seharusnya diterima di istana. Sebab raja dan ratu itu bisa membantu pembebasan Irian Barat,” jelas sejarahwan Universitas Indonesia (UI) Anhar Gonggong saat berbincang dengan detikcom.

Kala itu Bung Karno memang sedang membutuhkan dukungan rakyat untuk membebaskan Irian Barat yang masih dikuasai Belanda. Maka Soekarno pun mengundang Idrus dan Markonah ke Istana Merdeka. Di istana, tentu saja keduanya mendapat sambutan dan dijamu layaknya tamu terhormat. Tidak ketinggalan mereka juga diberi uang untuk misi membantu pembebasan Irian Barat. Bahkan diberitakan mereka menginap dan makan gratis di hotel selama berminggu-minggu.

Pertemuan Idrus dan Markonah dengan Bung Karno pun diberitakan media massa waktu itu. Koran Marhaen dan Duta Masyarakat waktu itu memasang foto pertemuan Markonah dengan Bung Karno. Di foto itu, Markonah dengan kaca mata hitamnya bersama sang suami berpose bersama Bung Karno. Di keterangan foto disebutkan, Raja Idrus dan Ratu Markonah akan membantu pembebasan Irian Barat.

Namuan kenyataan sering kali tidak seindah harapan. Fakta berbicara lain tentang Raja dan Ratu unik tersebut. Idrus dan Markonah yang dianggap raja dan ratu yang bisa membantu Indonesia membebaskan Irian Barat ternyata hanya penipu kelas kakap. Kedok mereka terbongkat saat suami istri itu jalan-jalan di sebuah pasar di Jakarta.

“Saat itu ada tukang becak yang mengenali Idrus, karena Idrus itu ternyata tukang becak. Dari sinilah wartawan melakukan investigasi dan membongkar kedok penipu itu. Markonah ternyata seorang pelacur kelas bawah di Tegal, Jawa Tengah. “Lucu itu, presiden kok bisa tertipu,” beber Anhar Gonggong yang kemudian tertawa terkekeh.

Anhar menganalisa, Soekarno bisa tertipu Idrus dan Markonah karena ia sedang mencari dukungan rakyat untuk proyek pembebasan Irian Barat. Selain itu juga, karena sebagai pemimpin, Bung Karno ingin menunjukkan dirinya dekat dengan rakyat. “Itu penyakit pemimpin kita, selalu ingin kelihatan dekat dengan rakyat,” ulas Anhar.

Skandal Idrus dan Markonah merupakan kasus penipuan nasional pertama yang dialami negeri ini dengan korban istana. Ternyata penipuan dengan korban istana tidak berhenti pada zaman Soekarno. Kasus serupa bahkan kembali berulang pada pemerintahan selanjutnya.

Selamat Jalan Adipati Karna

Satu hal yang tak dapat dielakkan oleh semua makhluk yang ada dimuka bumi, “Kematian” yah kematian. Tak terkecuali Sang Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Sang Proklamator, Panglima Tertinggi ABRI, Presiden RI Bung Karno. Bung Karno dengan pidatonya dapat menggerakkan lautan manusia, dengan kepalan tangannya hanyutlah Belanda dalam samudera revolusi, tapi yang jelas Soekarno takkan mampu mengelak sedetikpun dari kematian.

Masih seputar suasana kelabu di hari-hari wafatnya Sukarno, Sang Proklamator. Ini tentang bagaimana para istri dan mantan istri presiden yang gallant itu bereaksi, bersikap, dan bertutur ihwal kepergian lelaki yang begitu dipuja. Ternyata, sekalipun memiliki perasaan yang sama dalam hal cinta, tetapi berbeda-beda ekspresi mereka menerima kematian mantan suami atau suami mereka.

Inggit Garnasih, istri kedua Sukarno yang dinikahi tahun 1923, adalah wanita yang dengan setia mengikuti dan mendukung perjuangan Sukarno sejak usia 21 tahun. Ia bahkan turut serta dalam setiap pengasingan Bung Karno, mulai dari Ende sampai Bengkulu. Ia lahir tahun 1888, lebih tua 12 tahun dari Bung Karno. Itu artinya, saat “nKus” panggilan kesayangan Inggit kepada Bung Karno, wafat, usia Inggit 82 tahun.

Nah, di usia yang sepuh, dan dalam kondisi sakit… ia menerima berita duka pada hari Minggu, 21 Juni 1970. Ia tergopoh-gopoh berangkat dari Bandung menuju Jakarta, ditemani putri angkatnya, Ratna Juami. Dalam batin, ia harus memberi penghormatan kepada mantan suami yang telah ia antar ke pintu gerbang kemerdekaan.

Setiba di Wisma Yaso, di tengah lautan massa yang berjubel, berbaris, antre hendak memberi penghormatan terakhir, Inggit –tentu saja– mendapat keistimewaan untuk segera diantar mendekat ke peti jenazah. Di dekat tubuh tak bernyawa di hadapannya, Inggit berucap, “Ngkus, geuning Ngkus tehmiheulan, ku Inggit di doakeun…” (Ngkus, kiranya Ngkus mendahului, Inggit doakan….). Sampai di situ, suaranya terputus, kerongkongan terasa tersumbat. Badannya yang sudah renta dan lemah, terhuyung diguncang perasaan sedih. Sontak, Ibu Wardoyo, kakak kandung Bung Karno (nama aslinya Sukarmini) memapah tubuh tua Inggit.

Lain lagi Fatmawati, istri ketiga Bung Karno yang pergi meninggalkan Istana setelah Bung Karno menikahi Hartini. Ia adalah sosok perempuan yang teguh pendirian. Ia sudah bertekad tidak akan datang ke Wisma Yaso. Karenanya, begitu mengetahui ayah dari lima putra-putrinya telah meninggal, ia segera memohon kepada Presiden Soeharto agar jenazah suaminya disemayamkan di rumahnya di Jl. Sriwijaya, Kebayoran Baru, meski sebentar. Sayang, Soeharto menolak permintaan Fatmawati.

Hati Fatma benar-benar galau. Antara jerit hati ingin melihat wajah suami untuk terakhir kali, dengan keteguhan prinsip. Bahkan, putra-putrinya pun tidak ada yang bisa mempengaruhi keputusan Fatma untuk tetap tinggal di rumah. Meski, atas kesepakatan semua pihak, peti jenazah tidak ditutup hingga batas akhir jam 24.00, dengan harapan, Fatma datang pada detik-detik terakhir. Apa hendak dikata, Fatma tak juga tampak muka.

Pengganti kehadiran Fatma, adalah sebuah karangan bunga dari si empunya nama. Dengan kalimat pendek dan puitis, Fatma menuliskan pesan, “Tjintamu yang menjiwai hati rakyat, tjinta Fat”… Sungguh mendebarkan kalimat itu, bagi siapa pun yang membacanya.

Bagaimana pula dengan Hartini? Ah… melihat Hartini, hanya duka dan duka sepanjang hari. Wajah cantik keibuan, mengguratkan kelembutan. Sinar matanya penuh kasih sayang… Ia tak henti menangis. Hartini, salah satu istri yang begitu dicintai Sukarno, sehingga dalam testamennya, Sukarno menghendaki agar jika mati, Hartini dimakamkan di dekat makamnya. Ia ingin selalu dekat Hartini, wanita lembut keibuan yang dinikahinya Januari 1952.

Kebetulan, Hartini pula yang paling intens merawat dan menemani Bung Karno hingga akhir hayatnya. Sampai-sampai, Rachmawati, salah satu putri Bung Karno yang kebetulan juga paling intens menemani bapaknya di hari-hari akhir kehidupannya, memuji Hartini sebagai istri yang sangat setia dan baik hati. Rachma yang semula berperasaan tidak menyukai Hartini –dan ini wajar saja– menjadi dekat dan akrab dengan Hartini.

Semula, Rachma hanya berpura-pura baik dengan Hartini di depan bapaknya. Sebab, Rachma tahu betul, bapaknya begitu senang jika ada Hartini di dekatnya. Bapaknya begitu mencintai Hartini. Dan… dengan kesabaran, ketelatenan, dan perhatian tulus Hartini kepada Bung Karno di hari-hari akhir hidupnya, sontak membuka mata hati Rachma tentang sosok Hartini. Sejak itulah tumbuh keakraban dan kecintaan Rachma kepada Ibu Hartini.

Lain Inggit, beda Fatma, dan tak sama pula sikap Hartini… adalah ekspresi imported wife, si jelita Ratna Sari Dewi, wanita Jepang benama asli Naoko Nemoto. Wanita kelahiran tahun 1940 yang dinikahi Bung Karno 3 Maret 1962 itu memang dikenal lugas. Ia datang ke Jakarta bersama Kartika Sari (4 th) pada tanggal 20 Juni 1970 pukul 20.20 malam. Mengetahui suaminya lunglai tak berdaya, dirawat dalam penjagaan ketat tak manusiawi.

Hati Dewi teriris, terlebih bila mengingat anaknya sama sekali belum pernah berjumpa dengan ayahnya. Dalam catatan, Dewi pernah berkunjung ke Wisma Yaso saat hamil, tapi tentara melarangnya masuk. Dewi marah, karena kesulitan yang dialaminya. Ia, sebagai istri sah Sukarno, tidak bisa leluasa menengok apalagi menemani hari-hari Sukarno yang sedang bergulat dengan maut.

Latar belakang budaya yang berbeda, membuat Dewi kelihatan sangat vokal pada zamannya. Ia pernah marah besar kepada Soeharto dengan melontarkan ucapan pedas melalui surat terbuka tanggal 16 April 1970. Begini sebagian isi surat itu:

“Tuan Soeharto, Bung Karno itu saya tahu benar-benar sangat mencintai Indonesi dan rakyatnya. Sebagai bukti bahwa meskipun ada lawannya yang berkali-kali menteror beliau, beliau pun masih mau meberikan pengampunan kalau yang bersangkutan itu mau mengakui kesalahannya. Dibanding dengan Bung Karno, maka ternyata di balik senyuman Tuan itu, Tuan mempunyai hati yang kejam. Tuan telah membiarkan rakyat, yaitu orang-orang PKI dibantai. Kalau saya boleh bertanya, ‘Apakah Tuan tidak mampu dan tidak mungkin mencegahnya dan melindungi mereka agar tidak terjadi pertumpahan darah?”

Bukan hanya itu. Penampilan Dewi yang masih tampak begitu cantik di suasana duka, seperti menjadi icon. Terlebih dengan keterbukaan sikapnya. Seperti saat dengan penuh emosi ia melabrak Harjatie, istri Bung Karno yang telah diceraikan itu, sebagai seorang istri yang menyia-nyiakan Bung Karno, menuduh Harjatie meninggalkan Sukarno di masa-masa sulit. Harjatie pun menangis, dan bergerak meninggalkan tempat itu.

Begitulah, empat dari (setidaknya) delapan wanita yang pernah diperistri Bung Karno. Sama dalam mencinta, beda dalam mengekspresikan duka.

Semat Jalan Adipati Karna.

Pesona Dua Presiden Gemini

INDONESIA

Shinta Shinaga – detikcom

***

Jakarta – Wajah rupawan Soekarno dan senyum menawan Soeharto. Itulah pesona yang disuguhkan dua pemimpin Indonesia berbintang Gemini.

Entah suatu kebetulan atau tidak, dua dari enam presiden Indonesia berzodiak sama, yakni Gemini yang berlambang si kembar.

Keduanya adalah Soekarno yang lahir pada 6 Juni 1901 dan Soeharto pada 8 Juni 1921. Mereka secara berturut-turut menjadi pemimpin pertama dan kedua Tanah Air.

Menurut www.primbon. com, Gemini adalah simbol kecerdasan dan banyak akal, memiliki pesona alami dan energi kharisma yang menarik. Para Gemini dikenal senantiasa mencari sesuatu yang lain, termasuk juga kekasih.

Bisa jadi analisa tentang Gemini tersebut mencerminkan kehidupan Soekarno yang kerap dicap playboy. Namun demikian, kharisma kepemimpinan Soekarno juga melekat dalam ingatan.

soekarno-soeharto-2

Pria ganteng berpenampilan perlente namun penuh wibawa ini kerap diidolakan rakyat Indonesia meski sudah

tiada sejak hampir 38 tahun silam. Bahkan hingga generasi yang belum lahir saat masa keemasannya.

Banyak wanita yang kesengsem padanya. Dalam buku “Istri-istri Soekarno” karya Muhammad Yuanda Zara, ada 9 perempuan dalam pelukan Sang Proklamator itu dalam ikatan pernikahan.

Putra Sang Fajar ini memiliki delapan anak dari tiga istrinya. Istrinya yang masih hidup hingga kini adalah Naoko Nemoto. Perempuan Jepang berusia 68 tahun yang diberi nama Ratna Sari Dewi oleh Soekarno itu dikenal sebagai Madame Syuga karena pernah heboh dengan foto sensualnya.

Pesona berbeda ditampilkan Soeharto. Senyum khasnya nan menawan membuat penguasa Orde Baru ini dijuluki sebagai “The Smiling General”. Soeharto memiliki satu istri dengan enam anak.

Meski kerap dihujat setelah lengser keprabon, pesona Soeharto tidak lenyap. Terbukti dengan banyaknya tokoh dan pejabat yang membesuknya ketika Bapak Pembangunan Indonesia ini terbaring di rumah sakit. Sementara kasus dugaan korupsi yang membelitnya tetap menggantung dan terkatung-katung.

Setelah Soeharto, masa kejayaan pemilik rasi bintang Gemini lenyap. Empat presiden berikutnya memiliki zodiak berbeda-beda.

BJ Habibie yang lahir pada 25 Juni 1936 berbintang Cancer. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang lahir pada 4 Agustus 1940 berbintang Leo. Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri yang lahir pada 23 Januari 1947 berzodiak Aquarius. Susilo Bambang Yudhoyono yang lahir pada 9 September 1949 berbintang Virgo.

Setelah pemilihan presiden secara langsung digelar pada 2004, kerap terdengar istilah capres tebar pesona. Istilah ini menggema kembali menjelang Pilpres 2009. Tapi mungkin belum ada yang bisa menandingi pesona Soekarno dan Soeharto.

soekarno-soeharto-3

Bung Karno Diserang Tiger

Tiger ngamuk karena Bung Karno merebut pacarnya! Betulkah? Tiger adalah julukan buat Daantje, si pemuda Minahasa yang ganteng dan gagah berani itu. Dia disebut Tiger, karena itu adalah “call sign”-nya sebagai penerbang. Dengan menggunakan pesawat tempur MiG-17 dilengkapi kanon 23 mm, digempurnya istana Merdeka dan istana Bogor. Juga kilang minyak di Tanjung Priok.

Dia dikenal sebagai satu-satunya pilot Indonesia dalam sejarah yang berani menyerang istana presiden. Kejadiannya tanggal 9 Maret 1960. Di jamannya dia disebut sebagai pilot pesawat tempur terbaik di tanah air sesudah Leo Wattimena. Masih bujangan, waktu itu pangkatnya Letnan Udara II.


Daniel Maukar (ke-3 berdiri dari kiri).


Serangan itu bikin pimpinan AURI malu sekali. Kontan Kepala Staf TNI-AU Soerjadi Soerjadarma mengajukan pengunduran diri yang kabarnya ditolak Soekarno. Bos AURI ini memang merasa tertampar. Bagaimana tidak? Soalnya serangan anak buahnya tadi ditujukan buat Sang Pemimpin Besar Revolusi, Presiden Soekarno.

Walaupun begitu, Soerjadi sebagai pimpinan tidak begitu saja lepas tangan terhadap anak buahnya. Di kemudian hari orangtua Daantje sangat berterimakasih atas peran Soerjadi yang sangat membantu anak mereka dalam proses persidangan sampai dibebaskan. Komentar Soerjadi tentang itu, “Danny itu sudah saya anggap seperti anak sendiri”.

Daantje atau Danny, nama lengkapnya Daniel Alexander Maukar. Lahir di Bandung 20 April 1932 dari pasangan Karel Herman Maukar dan Enna Talumepa. Meskipun tumbuh dan tinggal dengan orangtuanya di Menteng Jakarta, namun kultur Kawanua tetap kental dalam keluarga itu.

Kecintaannya pada tanah leluhurnya kemudian membuatnya bersimpati pada gerakan PERMESTA,
gerakan separatis di Sulawesi Utara (orang-orang Permesta menolak Permesta dikatakan separatis). Ini juga sedikit banyak mempengaruhi kenekatannya yang akhirnya menghadapkannya pada vonis melakukan makar.

Makar artinya upaya menggulingkan pemerintah secara tidak sah. Daniel Maukar memang punya marga Menado “Maukar”, tapi itu artinya bukan “makar”. Orang Minahasa tahu, kata “Maukar” artinya “menjaga”.

Walaupun demikian, si “Tiger” Daniel Maukar tak mampu “menjaga” luapan darah mudanya, sehingga akhirnya memborbardir istana dengan tembakan. Tak jauh meleset dari meja kerja Bung Karno. Untung saja Bung Karno luput dari serangan itu. Karena sedang berada di gedung DPA yang terletak di samping istana.


Jet MiG-17 yang digunakan Daniel Maukar menyerang istana




Danny sendiri mengaku tidak berniat ingin membunuh Bung Karno. Karena tahu Bung Karno itu idola. Buktinya, serangannya itu dilakukan setelah yakin Bung Karno tidak berada di tempat. Memang sebelumnya dia sempat bertanya pada petugas pangkalan yang baru kembali dari depan istana. Danny bertanya apakah ada bendera kuning berkibar di depan istana. Setelah dijawab tidak, Danny tahu itu artinya Bung Karno sedang tidak berada di istana. Yang menarik, walaupun berani memborbardir istana, tapi Danny dengan tegas menolak perintah menyerang markas AURI dan Lanud Halim Perdana Kusuma. “Itu rumah saya sendiri”. Penolakan ini turut memberi andil untuk pembebasannya kemudian, setelah sempat divonis hukuman mati.

Sampai sekarang orang masih dibuat penasaran tentang apa sebetulnya motif di balik kenekatan Daniel 'Tiger” Maukar. Tidak banyak referensi yang mengungkap tentang itu. Mungkin satu-satunya tulisan lengkap tentang makar itu, ditulis oleh Jan S. Doward dalam buku Last Tiger Out: The True Story of Dan Maukar, Ace Pilot in The Indonesian Air Force.

Ketika masih kecil, saya sering mendengar rumor orang-orang dewasa tentang mengapa Danny ngamuk dengan pesawat jet-nya. Berani cari gara-gara dengan Bung Karno? Wah!Terdengar selentingan, pacar Danny direbut Bung Karno. Gadis Menado cantik pacar Danny yang kabarnya kerja di istana itu, namanya Molly Mambo konon digoda Bung Karno. Molly juga bekerja sebagai guru Bahasa Inggris, di samping mengajar senam.

Tapi rumor itu dibantah Daniel Maukar dalam wawancaranya yang dimuat di Majalah Angkasa. “Itu bohong!”, tegasnya. Lalu kenapa bisa berhembus kabar bahwa serangannya itu gara-gara pacarnya diganggu Bung Karno? Danny mengutip dugaan, gosip itu mungkin sengaja disebarkan CIA. Karena orang gampang percaya pada gosip yang mengaitkan Bung Karno dengan wanita. Soalnya siapapun tahu reputasi Bung Karno tentang wanita.

Diduga issue itu sengaja disebarkan untuk mengaburkan peranan CIA yang sesungguhnya di balik kekacauan politik di masa itu. Ada bukti-bukti tentang “tangan CIA” di belakang gerakan-gerakan separatisme di Indonesia ketika itu, termasuk gerakan Permesta Sulawesi Utara.

Dalam pengakuannya Daniel Maukar mengungkapkan, dia merasakan adanya pendekatan yang sistematis dari orang-orang Permesta terhadap dirinya. Namun waktu itu belum disadarinya.

Diakuinya dia mulai termakan hasutan tentang kisah ketimpangan pembangunan di Sulawesi Utara. Ini tidak adil. Padahal Sulawesi Utara sudah banyak diperas untuk pembangunan negara. Di antaranya melalui hasil kopra. Provokasi itu semakin diperuncing dengan kisah tentang Soekarno yang mulai main mata dengan komunis.

Itu membuat para pejuang Minahasa di Permesta merasa dikhianati. Padahal tidak sedikit pejuang Minahasa yang ikut mempertaruhkan nyawa berjuang merebut kemerdekaan. Sebagai catatan, umumnya para pemberontak separatisme di berbagai daerah ketika itu (termasuk Permesta), adalah pejuang gagah berani di masa perjuangan mengusir Belanda.

Gejolak darah muda Danny mulai terbakar dengan semua kisah provokatif tadi. Rasa cinta pada tanah leluhurnya bangkit untuk memprotes ketidakadilan itu. Idealisme-nya sebagai pemuda Minahasa yang peduli akan nasib kampung halamannya membuat Permesta semakin bergairah untuk PDKT ke Danny.


Bisa jadi, kehandalan Danny sebagai pilot pesawat tempur MiG-17 plus darah Kawanua-nya, membuat Permesta melirik potensinya.

Danny memang sangat mahir bermanuver tajam dengan jet MiG-17. Bahkan dalam keadaan mati mesin, dia masih bisa mendarat dengan selamat. Ada yang menarik dicatat tentang pesawat MiG-17. Konon kehandalan jet ini di perang Vietnam (dengan MiG-17 penerbang Vietnam berhasil menembak jatuh pesawat Amerika), memicu Amerika membuka pendidikan elit tempur, United States Navy Fighter Wapens School atau nama populernya, sekolah “Top Gun” yang terkenal itu.

Begitulah. Danny penerbang tempur handal. Pihak lain butuh kehandalannya. Maka provokasi pun semakin dilancarkan, yang bikin darah muda Danny semakin mendidih. Mungkin dengan cara begini Danny bisa direkrut. Beberapa kalangan menganalisis bahwa provokasi di masa itu adalah cara CIA memecah-belah. Soalnya Amerika keder juga kalau Indonesia semakin merapat ke Rusia, sang musuh bebuyutan AS.

Amerika dan Rusia memang bersaing sengit untuk merangkul Indonesia yang kaya sumber daya alam. Sehingga taktik memecah belah jadi cara ampuh untuk mengail di air keruh. Taktik divide et impera. Bikin dua bersaudara berduel. Setelah keduanya lemah, pihak luar masuk untuk menguasai. Bukankah lebih gampang menaklukkan dua kelompok yang sudah babak belur tak berdaya?

Kembali ke cerita tentang Molly tadi. Apa betul Molly Mambo itu pacarnya Danny? “Ya, memang betul kami sempat bertunangan, tapi kami tidak berjodoh sampai ke pernikahan”, kata Danny. Lalu ditambahkannya dengan serius, “Walau begitu, penyerangan ke istana itu tidak ada sangkut pautnya dengan Molly. Sungguh. Tapi biarpun saya sudah berkali-kali bilang begini, masih banyak juga yang bilang saya bohong”. Dikatakannya, dia merasa geli bahwa orang-orang percaya dengan rumor itu. Termasuk teman-teman kuliah Molly di IKIP Jakarta.

Sebelum melancarkan serangan itu, di Bandung dia sempat memberi kecupan mesra pada Molly yang ikut mengantarnya ke Lanud Hussein Sastra Negara. Lalu dari Bandung, dengan pesawat MiG-17 itu dia melesat ke Jakarta memulai misi rahasianya. Serangan itu akhirnya gagal karena tidak adanya koordinasi yang baik. Setelah kehabisan bahan bakar, pesawatnya mendarat darurat di persawahan Garut, Jawa Barat. Para ahli penerbangan sendiri heran, bagaimana dia bisa melakukan pendaratan darurat belly landing dengan begitu baik. Dan anehnya...selamat! Setelah mendarat itu, rencananya dia akan bergabung dengan pasukan Darul Islam. Tapi belum sempat, TNI sudah keburu menangkapnya. Danny terlihat sangat tenang ketika ditangkap.

Di balik serangan itu juga, diketahui keterlibatan Sam Karundeng, seorang tokoh Permesta. Serangan Danny diduga tercetus atas perintah Sam Karundeng. Daniel Maukar mengakui bahwa dia kecewa dengan cara Soekarno memberantas gerakan Permesta, yang di matanya mereka itu adalah pejuang-pejuang berjasa bagi negara. Permesta hanya ingin pembenahan otonomi, separatis bukanlah tujuan.




Sidang Mahmil Sam Karundeng dan Daniel Maukar

Penyerangannya ke istana adalah ekspresi kekecewaannya sekaligus untuk “memperingatkan” Bung Karno. Daniel Maukar divonis hukuman mati. Tapi berkat lobby beberapa pihak, Presiden Soekarno mengampuninya. Akhirnya tahun 1968 di era Suharto, Daniel Maukar pun menghirup udara bebas di luar tahanan.

Ada cerita menarik di balik mendekamnya Danny di tahanan. Aktris Rima Melati yang nama aslinya Marjolein (Lientje) Tambayong, suatu hari menjenguk mantan pilot itu di LP Cipinang. Dia memang kadang menjenguk bersama Vivi Maukar. Sebagai dua gadis Kawanua di tanah rantau, Rima memang bersahabat baik dengan Vivi, adik Danny.

Dari seringnya menjenguk, Rima Melati mengaku kepincut dengan si Danny. Lalu Rima Melati (nama ini pemberian Bung Karno), yang memang akrab dengan Presiden pertama itu, memohon keringanan hukuman buat Danny. Bung Karno tanya, “Dia sudah menyesal nggak?”. Bung Karno bilang dia bisa membebaskan Maukar asal ada surat pernyataan penyesalan dari yang bersangkutan. Maksudnya agar Bung Karno punya dasar tertulis untuk mengeluarkan putusan grasi. Saran Bung Karno ini disampaikan ke Daniel Maukar. Tapi dasar Tiger. Tetap sekokoh pesawat tempurnya. Danny tak pernah mau membuat surat penyesalan itu. “Saya jadi benci dia”, kata Rima.

Bung Karno tahu, idealisme perjuangan Danny sebagai anak muda telah ditunggangi oleh beberapa kepentingan di baliknya. Dan Bung Karno sangat paham bahwa Danny tidak pernah berniat ingin membunuhnya. Di balik segala kontroversi tentang Daniel Maukar, tak sedikit perwira AURI yang diam-diam menyimpan kebanggaan pada pemuda ini.

Setelah mendapat pengampunan dari Soekarno, lepas dari penjara Danny harus melupakan karir penerbangan, tapi mendapat pensiun penuh. Lolos dari hukuman mati, dinilainya sebagai mukjizat. Karena itu Danny mengakui jadi lebih menghargai hidupnya. Sebagai tanda syukur, selepas dari penjara diabdikannya seluruh hidupnya untuk bekerja di ladang Tuhan sebagai pendeta. Pekerjaan kerohanian itu terus ditekuninya hingga tutup usia tahun 2007, dalam usia 72 tahun di Jakarta.

Hanya satu hal yang dibutuhkan untuk membuat hidup berubah haluan 180 derajat. Yaitu nekat. Hasilnya ditentukan oleh bagaimana cara melakukan kenekatan itu. Dengan jet Mig-17, tujuan Danny melesat cepat bak mustang. Begitu cepatnya, sehingga ketika mendarat di sawah, secepat itu juga Danny sadar bahwa dirinya telah tersesat.

Tersesat? Bukan hanya Danny. Itu bisa saja dialami oleh setiap orang. Tapi tidak setiap orang seberuntung Danny yang bisa membenahi hidupnya untuk tidak terus tinggal dalam kesesatan.


Walentina Waluyanti

Nederland, 28 Januari 2010

Bookmark and  Share

Senin, 01 Februari 2010

Sepotong kisah Soekarno


Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.

Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.

Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa-dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.

Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu.

Dua hari kemudian, Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini.

“Pak, Pak, ini Ega…”

Senyap.

Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.

Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar.

Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan senjata.

Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.

Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata lemah.

“Hatta.., kau di sini..?”

Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.

“Ya, bagaimana keadaanmu, No?”

Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.

Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal.

Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu?

Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.

Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil.

Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.

Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.

“No…”

Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang.

Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus.

Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.

Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka.

Sisa waktu bagi Soekarno kian tipis.

Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.

Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.

Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan.

Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, tapi banyak pula yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad. Manusia itu kini telah tiada.

Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi: Soekarno telah meninggal.

Berita kematian Bung Karno dengan cara yang amat menyedihkan menyebar ke seantero Pertiwi. Banyak orang percaya bahwa Bung Karno sesungguhnya dibunuh secara perlahan oleh rezim penguasa yang baru ini. Bangsa ini benar-benar berkabung. Putera Sang Fajar telah pergi dengan status tahanan rumah. Padahal dia merupakan salah satu proklamator kemerdekaan bangsa ini dan menghabiskan 25 tahun usia hidupnya mendekam dalam penjara penjajah kolonial Belanda demi kemerdekaan negerinya.

Anwari Doel Arnowo, seorang saksi sejarah yang hadir dari dekat saat prosesi pemakaman Bung Karno di Blitar dalam salah satu milis menulis tentang kesaksiannya. Berikut adalah kesaksian dari Cak Doel Arnowo yang telah kami edit karena cukup panjang:

Pagi-pagi, 21 Juni 1970, saya sudah berada di sebuah lubang yang disiapkan untuk kuburan manusia. Sederhana sekali dan sesederhana semua makam di sekelilingnya. Sudah ada sekitar seratusan manusia hidup berada di situ dan semua hanya berada di situ, tanpa mengetahui apa saja tugas mereka sebenarnya. Yang jelas, semuanya bermuka murung. Ada yang matanya penuh airmata, tetapi bersinar dengan garang. Kelihatan roman muka yang marah. Ya, saya pun marah. Hanya saja saya bisa menahan diri agar tidak terlalu kentara terlihat oleh umum.

Kita semua di kota Malang mendengar tentang almarhum yang diberitakan telah meninggal dunia sejak pagi hari dan sudah menyiapkan diri untuk menunggu keputusan pemakamannya di mana. Sesuai amanat almarhum, seperti sudah menjadi pengetahuan masyarakat umum, Bung Karno meminta agar dimakamkan di sebuah tempat di pinggir kali di bawah sebuah pohon yang rindang di Jawa Barat (asumsi semua orang adalah di rumah Bung Karno di Batu Tulis di Bogor).

Tetapi lain wasiat dan amanah, lain pula rezim Soeharto yang secara sepihak memutuskan jasad Bung Karno dimakamkan di Blitar dengan dalih bahwa Blitar adalah kota kelahirannya. Ini benar-benar ceroboh. Bung Karno lahir di Surabaya di daerah Paras Besar, bukan di Blitar! Bung Karno terlahir dengan nama Koesno, dan ikut orang tuanya yang jabatan ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, adalah seorang guru yang mengajar di sebuah Sekolah di Mojokerto dan kemudian dipindah ke Blitar. Di sinilah ayah Bung Karno, meninggal dunia dan dimakamkan juga di sisinya, isterinya (yang orang Bali ) bernama Ida Ayu Nyoman Rai.

Setelah matahari tinggal sepenggalan sebelum terbenam, rombongan jenazah Bung Karno akhirnya sampai di tempat tujuan. Yang hadir didorong-dorong oleh barisan tentara angkatan darat yang berbaris dengan memaksa kumpulan manusia agar upacara dapat dilaksanakan dengan layak.

Tampak Komandan Upacara jenderal Panggabean memulai upacara dan kebetulan saya berdiri berdesak-desakan di samping Bapak Kapolri Hoegeng Iman Santosa, yang sedang sibuk berbicara dengan suara ditahan agar rendah frekuensinya tidak mengganggu suara aba-aba yang sudah diteriak-teriakkan. Saya berbisik kepada beliau, ujung paling belakang rombongan ini berada di mana? Beliau menjawab singkat di kota Wlingi. Hah?! Sebelas kilometer panjangnya iring-iringan rombongan ini sejak dari lapangan terbang Abdulrachman Saleh di Singosari, Utara kota Malang.

Pak Hoegeng yang sederhana itu kelihatan murung dan sigap melakukan tugasnya. Dia berbisik kepada saya: “There goes a very great man!!” Saya terharu mendengarnya. Apalagi ambulans (mobil jenazah) yang mengangkut Bung Karno terlalu amat sederhana bagi seorang besar seperti beliau. Saya lihat amat banyak manusia mengalir seperti aliran sungai dari pecahan rombongan pengiring. Sempat saya tanyakan, ada yang mengaku dari Madiun, dari Banyuwangi bahkan dari Bali.

Saya menuju ke arah berlawanan dengan tujuan ke rumah Bung Karno, di mana kakak kandung beliau, Ibu Wardojo tinggal. Hari sudah gelap dan perut terasa lapar karena kita tidak berhasil mendapatkan makanan atau minuman, sebab kalau pun ada warung atau penjual makanan, pasti sudah kehabisan minuman atau makanan apa pun yang bisa ditelan. Saya ingat bahwa orang Muhammadiyah tidak memberi hidangan, minum sekalipun, kepada kaum pelayat. Bung Karno adalah orang Muhammadiyah. Kota Blitar tidak siap menampung orang sekian banyak. Setelah dilakukan pemakaman jenazah Bung Karno, beberapa waktu di kemudian hari semua makam Pahlawan di Taman Pahlawan Sentul ini dipindahkan ke Mendukgerit, yang telah saya kenal sebelumnya sebagai Bendogerit.

Pemindahan ini dilaksanakan dengan alasan di lokasi pemakaman sudah penuh, tetapi pada kenyataannya kemudian ada proyek pembangunan makam Bung Karno yang memakan area cukup lebar.

Kuburannya Pun Tidak Boleh Dijenguk

Sejarah mencatat, sejak 1971 sampai 1979, makam Bung Karno tidak boleh dikunjungi umum dan dijaga sepasukan tentara. Kalau mau mengunjungi makam harus minta izin terlebih dahulu ke Komando Distrik Militer (KODIM). Apa urusannya KODIM dengan izin mengunjungi makam?

Saya bersama ibu saya dan beberapa saudara datang secara mendadak pergi ke Blitar dengan tujuan utama ziarah ke Makam Bung Karno. Tanpa ragu kita ikuti aturan dan akhirnya sampai ke pimpinannya yang paling tinggi. Saya ikut sampai di meja pemberi izin dan sudah ditentukan oleh kita bersama, bahwa salah satu saudara saya saja yang berbicara. Saya sendiri meragukan emosi saya, bisakah saya bertindak tenang terhadap isolasi kepada sebuah makam oleh Pemerintah atau rezim? Nah, ternyata meskipun tidak terlalu ramah, mereka melayani dengan muka seperti dilipat. Mungkin dengan menunjukkan muka seperti itu merasa bertambah rasa gagahnya terhadap rakyat biasa macam kami. Akhirnya semua beres dan kami mendapat sepucuk surat. Apa yang terjadi?

Sesampainya di makam kami turun dari kendaraan kami dan saya bawa surat izin dari KODIM. Surat itu kami tunjukan ke tentara yang jaga makam. Waktu tentara itu baca surat, saya terdorong untukmenoleh ke belakang. Terkejut saya. Selain rombongan sendiri, Ibu saya dan saudara-saudara, telah mengikuti kami sebanyak lebih dari tiga puluh orang, bergerombol. Mereka, orang-orang yang tidak kami kenal sama sekali, melekat secara rapat dengan rombongan kami. Saya lupa persis bagaimana, akan tetapi saya ingat kami memasuki pagar luar dan kami bisa mendekat sampai ke dinding kaca tembus pandang dan hanya memandang makamnya dari jarak, yang mungkin hanya sekitar tiga meter.

Para pengikut dadakan yang berada di belakang rombongan kami dengan muka berseri-seri, merasa beruntung dapat ikut masuk ke dalam lingkungan pagar luar itu. Ada yang bersila, memejamkan mata dan mengatupkan kedua tangannya, posisi menyembah. Saya tidak memperhatikannya, tetapi jelas dia bukan berdoa cara Islam. Mereka khusyuk sekali dan waktu kami kembali menuju ke kendaraan kami, beberapa di antara mereka menjabat tangan dan malah ada yang menciumnya, membuat saya merasa risih.

Salah seorang dari mereka ini mengatakan bahwa dia sudah dua hari bermalam di sekitar situ di udara terbuka menunggu sebuah kesempatan seperti yang telah terjadi tadi. Tanpa kata-kata, saya merasakan getar hati rakyat, rakyat Marhaen kata Bung Karno! Mereka menganggap Bung Karno bukan sekedar Proklamator, tetapi seorang Pemimpin mereka dan seorang Bapak mereka. Apapun yang disebarluaskan dan berlawanan arti dengan kepercayaan mereka itu semuanya dianggap persetan. Dalam hubungan Bung Karno dengan Rakyat, tidak ada unsur uang berbicara.

Dibunuh Perlahan

Keyakinan orang banyak bahwa Bung Karno dibunuh secara perlahan mungkin bisa dilihat dari cara pengobatan proklamator RI ini yang segalanya diatur secara ketat dan represif oleh Presiden Soeharto. Bung Karno ketika sakit ditahan di Wisma Yasso (Yasso adalah nama saudara laki-laki Dewi Soekarno) di Jl. Gatot Subroto. Penahanan ini membuatnya amat menderita lahir dan bathin. Anak-anaknya pun tidak dapat bebas mengunjunginya.

Banyak resep tim dokternya, yang dipimpin dr. Mahar Mardjono, yang tidak dapat ditukar dengan obat. Ada tumpukan resep di sebuah sudut di tempat penahanan Bung Karno. Resep-resep untuk mengambil obat di situ tidak pernah ditukarkan dengan obat. Bung Karno memang dibiarkan sakit dan mungkin dengan begitu diharapkan oleh penguasa baru tersebut agar bisa mempercepat kematiannya.

Permintaan dari tim dokter Bung Karno untuk mendatangkan alat-alat kesehatan dari Cina pun dilarang oleh Presiden Soeharto. “Bahkan untuk sekadar menebus obat dan mengobati gigi yang sakit, harus seizin dia, ” demikian Rachmawati Soekarnoputeri pernah bercerita.

dikutip dari blog mas andi di www.andists.info